Bisa ! ini terjadi sejak tahun 2007, kala itu saya sedang menjalani pendidikan dipesantren. Pesantren yang saya ikuti adalah salafii ( mandiri), untuk makan, mencuci hingga membereskan asrana dilakukan sendiri, tidak seperti pesantren modern yang disediakan seperti makan dan cuci pakaian.
Kami belajar bukan tentang agama saja, melainkan kemandirian. Awalnya kaget juga saya harus mencuci pakaian sendiri, terlebih saya berusia sekitar 12 tahun, biasanya di siapkan oleh orang tua, dan kini merasakan harus melakukannya seorang diri.
Untuk makan sebenarnya disedisakan oleh dapur umum pondok pesantren oleh beberapa orang pengurus, namun pernah suatu ketika kaetika ganti kepengurusan, uang kas dapur umum mengalami masalah, hal ini karena sebagian santri yang tidak ikut dalam pembayaran dapur umum.
ini menjadi hal yang wajar karena setiap santri memang tidak dituntut untuk melakukan pembayaran ke pondok, untuk jasa mengajarnya. Namun untuk dapur umum seharusnya menjadi kewajiban, karena makan adalah kebutuhan primer.
Baca Juga : Pengalaman Menjadi Santri Selama 3th | Pesantren Salafiah
Disaat itulah saya yang melakukan pembayaran namun tidak sempat mendapatkan jatah makan, sekitar beberapa bulan dapur umum tidak menyediakan makan, dan kami santri harus mencarinya sendiri, atau jika memiliki uang lebih bisa beli diluaran sana.
Hal yang paling menyakitkan adalah ketika tidak memiliki uang, dan dari dapur umum pun tidak menyediakan makanan, kala itu hanya memegang uang Rp1500, mungkin pada tahun itu hanya bisa membeli roti saja, tapi kehidupan harus tetap berjalan hingga seminggu kedepan.
MEMBELI KEPERLUAN MEMASAK
Dari Rp1500 ini saya membeli korek api gas dengan harga Rp1000, dan Rp500 nya dibelikan garam. Ini sebagai modal untuk menyambung perut nantinya, saya mencari kaleng bekas yang mungkin berukuran diameter 10cm, dan alhamdulilahnya didapatkan kaleng bekas cat.
![]() |
Masih ingat sekali kaleng bekas cat merek A dengan cat yang berwarna cokelat, jujur waktu pertama kali masak dengan ini masih terasa bau catnya |
Kaleng cat dibersihkan terlebih dahulu agar bau catnya hilang, dan siap digunakan sebagai wajan. tidak membutuhkan keahlian untuk mendapatkan makanan yang bisa memenuhi perut, cukup hanya dengan pergi ke pinggiran sungai, mungkin lebih tepatnya irigasi.
Di pinggir irigasi banyak tanaman seperti pisang hingga singkong, mungkin ini sengaja ditanam oleh masyarakat sekitar, karena memang dari pondok tempat ini lumayan jauh, jadi tidak mungkin pengurus yang menanam.
Saya berspekulasi bahwa ini adalah tanahh umum atau negara yang memang digunakan oleh warga, terlihat dari plang besi yang tertera jelas "Tanah milik negara", jadi saya rasa sah sah saja jika mengambil pisang mentah ataupun singkong.
Bersama teman setiap pagi dan sore hari kami datang ke area ini untuk memasak pisang rebus ataupun singkong rebus, bermodalkan korek api dan kaleng cat kami bisa merebus singkong, atau jika ingin pisang yaa pisang.
Mungkin ini tak patut dicontoh tapi perut tetap saja tidak bisa berkompromi, lapar ya lapar istilahnya. Untuk garam sendiri kami gunakan untuk merebus kangkung liar, mungkin rasanya aneh jika tanpa garam, jadi dengan di taburi garam rasanya akan lebih baik.
Saya jalani kegiatan ini selama tidak memiliki uang, atau sampai orang tua datang untuk mengirim uang jajan atau makan, jadi saya tidak perlu risau jika kehabisan uang, banyak cara yang bisa didapat asalkan bisa makan dan belajar (kala itu). Sungguh ini merupakan pengalaman yang tidak bisa dilupakan.
Baca Juga : Pengalaman Menjadi Santri Selama 3th | Pesantren Salafiah
0 Komentar