Kesehatan ialah aset utama bagi manusia untuk hidup, karena dengan sehatlah bisa beraktifitas dan menjalani hidup penuh suka cita. Namun tidak selamanya manusia itu selalu sehat, ada saja penyakit yang datang secara tiba tiba.

Mayoritas masyarakat indonesia yang berpenghasilan dibawah rata-rata, kesulitan untuk menjalani pengobatan di rumah sakit, bahkan mereka menahan rasa sakitnya.

Pemerintah indonesia telah mengadakan program BPJS bagi seluruh lapisan masyarakat, dengan metode gotong royong semuanya bisa tertolong.

Sistem tentu selalu ada kekurangan dan kelebihannya, salah satunya program BPJS Kesehatan ini, walaupun begitu masih banyak sisi positifnya.

KEKURANGAN BPJS KESEHATAN
Keluarga saya semua ikut serta dalam mendukung program pemerintah ini, yaa kami membuat BPJS mandiri dengan iuran yang dikeluarkan setiap bulannya walaupun jarang sekali digunakan.

Pada suatu ketika ayah demam tinggi dan diagnosa tifus oleh pihak klinik, karena ruang rawat inap klinik sudah penuh, maka di rujuk ke Rumah sakit.

Setelah di UGD kami sempat disuruh kembali ke klinik untuk meminta surat rujukan. Padahal kondisinya sudah darurat dan payah (menggunakan kursi roda) dan pihak klinik pun mengatakan bahwa tanpa surat rujukan pun bisa. 

DIBIARKAN DI RUANG UGD 
Setelah beberapa menit berdebat dengan perawat yang berjaga di RS serta menelpon pihak klinik, akhirnya ayah saya bisa ditangani lebih lanjut.

Memang kesal sekali, saya merasa karena kami menggunakan BPJS pelayanan pun mengecewakan, terlebih perawat itu agak membentak kami dengan nada yang tinggi bersi keras untuk meminta surat rujukan.

Tak sampai disitu saja kekesalan kami, ayah saya dibiarkan selama satu jam di bilik UGD tanpa pemeriksaan apapun, setelah satu jam barulah dokter datang dan perawat mengambil sampel darah. Padahal kala itu hanya ada beberapa orang yang masuk UGD.

Selama menunggu hasil tes darah keluar, saya melihat ada seseorang yang masuk UGD dan berbaring di samping bilik dimana kami berada, saya mendengarkan percakapan antara dokter dan pasien yang baru datang itu.

Pada intinya pasien itu sudah sakit selama dua hari, dan baru memeriksakan keluhannya, pasien menginginkan untuk rawat inap di RS. Namun dokter mengatakan bahwa jika rawat inap sakit demam khususnya harus minimal empat hari sakit, baru boleh dirawat. 

Pasien terus mengeluh bahwa dia pekerja pabrik yang hanya seorang diri di kontrakannya, jadi tidak ada yang merawatnya. Akhirnya dokter mengizinkan untuk melakukan rawat inap pada pasien tersebut.

Disela percakapan saya mendengar si pasien menggunakan asuransi swasta yang di fasilitasi oleh perushaan.

KAMI DITOLAK MENGAJUKAN RAWAT INAP
Satu jam berlalu dan hasil tes darah pun keluar, dokter mengatakan bahwa ayah saya masih tergolong baik-baik saja dan tidak perlu ada tindakan rawat inap.

Namun saya protes karena ayah saya sudah lima hari sakit, dan baru dibawa ke klinik, di klinik pun seharusnya dirawat inap, karena penuh kami dialihkn ke RS. Padahal dokter sendiri yang bilang minimal sakit empat hari baru bisa dirawat.

Saya bahkan dua kali bolak balik ke ruang dokter namun ditahan oleh perawat UGD, meminta untuk rawat inap. Tapi ternyata sia-sia.

Saya menyimpulkan bahwa disni terjadi diskriminasi antara pasien asuransi BPJS dengan asuransi Swasta. Sudah sangat jelas sekali dari pertama kami menginjakkan di UGD hingga pemeriksaan yang terbilang lamban dan subjektif.

HARAPAN KAMI
Kami berharap tidak ada lagi diskriminasi pasien BPJS hingga terlantar di ruang UGD, mereka mungkin tidak merasakan betapa tersiksanya kami menahan rasa sakit. Kami tidak menginginkan sakit, tapi keadaanlah yang memaksa kami.

Saya juga tidak mengerti bagaimana prosedur ini bisa kacau sehingga memberikan efek kepada pihak rumah sakit dan kami sebagai masyarakat biasa yang terkena imbasnya.

Kami juga berharap pemerintah dan pihak rumah sakit yang menjalin kerjasama untuk saling menghargai, terutama pemerintah yang lamban dalam memproses klaim pencairan dana dari BPJS ke rumah sakit.